Akankah Jokowi Jatuh Sebelum 2024?

Laporan ,

Jakarta - Pada 21 Januari 2020, pengamat politik yang sekarang suaranya tidak lagi berdengung di Indonesia Lawyers Club (ILC), Rocky Gerung memberikan prediksi yang cukup mengejutkan. Bagaimana tidak, sosok yang pernah menjadi ghostwriter Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tersebut menyebut pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak akan sampai 2024.

Menurut Rocky, Presiden Jokowi tengah mengalami surplus ketidakpercayaan publik seiring dengan terjadinya kontradiksi kebijakan dan inkonsistensi janji kampanye. Jika hal tersebut dibiarkan, alumnus filsafat Universitas Indonesia tersebut memprediksi akan terjadi demonstrasi dari mahasiswa, yang tentunya itu dapat menimbulkan gejolak politik.

Senada, pada 28 Februari 2020, pengamat ekonomi dan politik Sabang Merauke Circle (SMC), Syahganda Nainggolan juga mengutarakan hal serupa, bahkan memberikan prediksi waktu yang spesifik terkait kejatuhan tersebut. Menurutnya, dengan adanya wabah virus Corona yang memporak-porandakan ekonomi Tiongkok, itu dapat menjadi preseden atas kejatuhan Presiden Jokowi yang akan terjadi dalam waktu enam bulan ke depan.

Hal tersebut terjadi karena selama ini pemerintah dinilai terlalu bergantung pada Tiongkok, sehingga dengan adanya wabah tersebut, tidak terdapat lagi “penolong sigap” yang akan membantu Indonesia dalam menghadapi masalah ekonomi yang tengah terjadi.

Terbaru, mantan Menko Kemaritiman dan Sumber Daya, Rizal Ramli (RR) turut memprediksi hal buruk akan terjadi. Tandasnya, akan terjadi krisis ekonomi besar yang terjadi menjelang lebaran.

Menurut RR, terdapat lima faktor penting di sektor ekonomi yang jika terjadi secara bersamaan dapat memicu hal tersebut, yakni indikator makro ekonomi yang merosot, daya beli yang menurun, kasus Jiwasraya, ekonomi digital yang mengalami koreksi valuasi, dan terjadinya gagal panen para petani.

Konteks prediksi ketiga sosok tersebut menjadi semakin menarik karena beberapa waktu yang lalu, Sekretaris Kabinet, Pramono Anung diketahui melarang Presiden Jokowi berkunjung ke Kota Kediri karena khawatir mantan Wali Kota Solo tersebut akan bernasib sama seperti Gus Dus.

Pasalnya, terdapat suatu mitos yang menyebutkan bahwa jika terdapat kepala negara yang tidak baik berkunjung ke Kediri, maka ia akan lengser sebelum masa jabatannya berakhir. Dengan demikian, mungkinkah Pramono menyadari bahwa konteks mitos tersebut sangat sesuai dengan Presiden Jokowi sehingga memberikan larangan?

Lantas, jika benar demikian, bagaimanakah prediksi ketiga sosok oposisi tersebut dapat dimaknai?

Mengapa Prediksi Dilakukan?

Selaku peristiwa yang belum tentu dapat terjadi, tentu saja mustahil untuk mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan. Akan tetapi, kendati hal tersebut sebenarnya disadari oleh manusia, mengapa prediksi masa depan – seperti yang dilakukan oleh Rocky, Syahganda, dan RR – tetap dilakukan?

Lawrence R. Samuel dalam tulisannya Why Do We Think So Much of the Future?, menyebutkan bahwa masa depan telah berfungsi sebagai tempat untuk menampung ketakutan terburuk ataupun harapan manusia. Menurutnya, masa depan selalu membawa kesan misterius karena memiliki semacam kemampuan untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahui.

Samuel juga menyebutkan bahwa nabi-nabi terdahulu kerap membawa narasi prediksi masa depan, seperti kiamat, surga, ataupun neraka – karena narasi-narasi semacam itu memang berguna untuk mendapatkan atensi masyarakat. Selain itu, statusnya yang merupakan prediksi masa depan membuat narasi tersebut menjadi sulit untuk dibantah.

Pada konteks prediksi yang disebutkan oleh Rocky, Syahganda, ataupun RR, narasi yang dibawa oleh ketiganya dapat dimaknai dalam dua sudut pandang. Di satu sisi, mungkin itu adalah kemungkinan terburuk yang mereka khawatirkan akan terjadi pada pemerintahan Presiden Jokowi. Namun, di sisi lain, prediksi tersebut dapat pula dimaknai sebagai pemenuhan harapan mereka yang mungkin tidak puas dengan pemerintahan Presiden Jokowi.

Jika Samuel menyebut prediksi masa depan menjadi semacam pemenuhan hasrat psikologis, Michael D. Ward dan Nils Metternich dalam tulisannya Predicting the Future Is Easier Than It Looks justru memberikan pandangan yang berbeda.

Menurut mereka, prediksi masa depan – seperti melakukan prediksi politik – tidak lagi mustahil, melainkan telah menjadi hal yang benar-benar dapat dilakukan.

Tandasnya, dengan adanya revolusi di bidang statistika, konfigurasi variabel-variabel politik menjadi data sehingga nantinya dapat dikalkulasi membuat fenomena politik tidak menjadi suatu hal yang misteri lagi.

Ward dan Metternich misalnya mencontohkan kalkulasi yang dilakukan oleh Quincy Wright dalam tulisannya yang berjudul A Study of War. Dalam tulisan itu, Wright memetakan indikasi-indikasi yang tidak hanya dapat mengetahui kemungkinan perang, melainkan juga dapat mengetahui tingkat ketegangan umum suatu negara.

Merujuk pada Ward dan Metternich, dengan adanya indikasi-indikasi yang disebutkan oleh Rocky, Syahganda, dan RR, dapat disimpulkan bahwa prediksi kejatuhan itu mungkin bukanlah semacam hasrat dalam mengkritik semata, melainkan merupakan suatu kalkulasi yang boleh jadi akan terwujud nantinya.

Mungkinkah Terwujud?

Untuk mengetahui kebenaran akan prediksi kejatuhan Presiden Jokowi, tentunya harus diketahui apakah indikasi-indikasi menunjukkan demikian. Sebagaimana diketahui, indikasi yang disebut oleh Rocky, Syahganda, dan RR adalah persoalan public trust atau kepercayaan publik yang menurun, wabah virus Corona, serta persoalan ekonomi.

Kepercayaan publik seperti yang disebut oleh Rocky misalnya, dapat memicu demonstrasi besar mahasiswa yang pernah terjadi juga beberapa waktu yang lalu ketika menolak revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ataupun Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).

Pun begitu dengan wabah virus Corona. Jika pemerintah Indonesia tidak mampu menanganinya dengan baik, kepercayaan publik bisa saja semakin terkikis dan berujung pada skenario yang disebutkan oleh Rocky.

Tidak hanya Indonesia, Presiden Tiongkok Xi Jinping yang diketahui begitu berpengaruh bahkan disebut tengah mengalami krisis politik besar seiring dengan mewabahnya virus Corona. Seiring dengan jatuhnya ekonomi Tiongkok karena wabah tersebut, tidak sedikit yang memprediksi itu akan menjadi akhir bagi sosok yang mendapatkan gelar “lingdao hexin” atau “pemimpin inti” tersebut.

Lalu, terkait krisis ekonomi, tentunya itu dapat menjadi alasan kuat untuk mendelegitimasi Presiden Jokowi. Apalagi, kasus serupa juga pernah terjadi ketika Soeharto dipaksa mundur pada tahun 1998 silam.

Akan tetapi, kendati ketiga indikasi tersebut terjadi, prediksi kejatuhan Presiden Jokowi belum tentu akan terjadi. Pasalnya, untuk menjatuhkan seorang presiden, kekuatan massa saja tidak cukup karena diperlukan pula dukungan kekuatan militer dan partai politik. Masalahnya adalah kedua hal tersebut sepertinya telah digenggam oleh Presiden Jokowi.

Secara kekuatan politik misalnya, saat ini 74 persen parlemen diketahui merupakan koalisi Presiden Jokowi. Lalu, Menteri Triumviat, yakni Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang dalam konstitusi akan menggantikan posisi presiden jika Presiden Jokowi lengser, disebut-sebut berada di kubu mantan Wali Kota Solo tersebut.

Pada titik ini, kita mungkin dapat menyimpulkan bahwa strategi politik akomodatif yang diterapkan Presiden Jokowi tidak hanya menghasilkan koalisi yang gemuk, melainkan juga dapat menjadi “tameng politik” dalam menghadapi gejolak politik yang mungkin dapat terjadi ke depannya.

Terakhir dan juga sekaligus menjadi kekuatan terkuat, Presiden Jokowi disebut-sebut telah menjalin hubungan yang baik dengan militer sejak periode pertama pemerintahannya. Hal ini terlihat dari sang presiden yang menempatkan berbagai jenderal di posisi jabatan politik.

Sebut saja Tedjo Edhy Purdijatno yang ditunjuk sebagai Menko Polhukam pada 2014. Lalu, ada Luhut Binsar Panjaitan yang menjadi Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman dan Investasi. Wiranto ditempatkan sebagai Menko Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) pada periode pertama – kini menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Selain itu, ada nama Ryamizard Ryacudu dan Prabowo Subianto yang masing-masing ditempatkan sebagai Menteri Pertahanan pada periode pertama dan kedua.

Tidak ketinggalan, ada juga nama Moeldoko yang bercokol sebagai Kepala Staf Kepresidenan, A.M. Hendropriyono yang pernah menjadi tim transisi kabinet Jokowi, Agum Gumelar sebagai anggota Wantimpres, hingga Fachrul Razi Batubara yang mengisi jabatan Menteri Agama.

Vedi Hadiz dari Murdoch University, Australia juga menyebutkan bahwa Presiden Jokowi menggunakan TNI untuk memperkuat posisi politiknya di hadapan lawan-lawannya. Hal ini juga semakin terlihat lewat pelibatan militer dalam program-program pemerintah.

Pelibatan militer tersebut juga secara spesifik disoroti oleh majalah kenamaan The Economist yang menemukan bahwa peran militer dalam berbagai bidang kehidupan di pemerintahan Presiden Jokowi sudah terlalu mendominasi.

Hal ini mungkin terlihat dari adanya sekitar 133 perjanjian kerja sama antara berbagai lembaga negara dengan militer di era kekuasaan Presiden Jokowi. Militer bahkan disebut mengurusi berbagai hal, mulai dari urusan pembukaan lahan persawahan, pembangunan jalan-jalan baru, bahkan hingga hal-hal teknis seperti menjaga harga pasar dan tingkat inflasi.

Dengan kata lain, katakanlah akan terjadi demonstrasi besar, Presiden Jokowi nantinya dapat mengandalkan kekuatan militer tersebut untuk melakukan “pukulan balik”. Akan tetapi, tentunya itu kembali pada karakter sang presiden, apakah ia menginginkan “pertumpahan darah” atau tidak.

Merangkum berbagai variabel yang ada, mungkin dapat disimpulkan jika demonstrasi besar terjadi, dan tidak terdapat dukungan politik dan militer yang memadai, maka akan sulit melihat prediksi kejatuhan Presiden Jokowi akan terjadi. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (Pinter politik. Com)